PANTAUINDONESIANEWS.COM- Sekolah merupakan institusi pendidikan yang paling penting dalam merekonstruksi moralitas anak. Selain itu sekolah juga berfungsi melakukan internalisasi nilai melalui sosialisasi mengenai pentingnya nilai-nilai moral dan karakter serta kesantunan pada anak, karena anak merupakan investasi masa depan yang harus dikembangkan secara optimal. Tanpa adanya stimulus dan ajaran dari orang tua dan guru pada anak, potensi yang dibawa anak sejak lahir tidak akan mampu berkembang secara optimal. Salah satunya adalah perkembangan anak dalam penanaman nilai moral.
Pendidikan anak usia dini sangatlah penting. Pentingnya pendidikan anak sejak usia dini juga didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah salah satu upaya pembinaan yang ditujukan untuk anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 butir 14). Berdasarkan hal-hal tersebut maka jelaslah bahwa pendidikan sejak usia dini sangatlah penting.
Di era globalisasi saat ini tidak menutup kemungkinan anak dengan mudah mendapat informasi dari luar melalui media apapun yang beredar. Akan tetapi yang pernting diingat bahwa tidak semua informaasi yang diperoleh anak dari luar merupakan informasi yang baik serta tepat untuk perkembangan anak. Seperti yang sering kita lihat saat ini di media sosial, sering diberitakan tentang perkelaihan, tawuran dan tindakan-tindakan lain yang tidak sesuai dengan nilai moral yang berlaku pada umumnya.
Atas dasar pertimbangan itu, maka setiap anak perlu dibekali pengetahuan tentang nilai moral dengan baik, serta diberikannya pendidikan nilai dan moral sejak anak masih usia dini, diharapkan pada tahap perkembangan selanjutnya anak mampu membedakan baik buruk, benar salah, sehingga anak dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Anak diharapkan akan lebih mudah menyaring perbuatan mana yang perlu diikuti dan perbuatan mana yang harus dihindari.
Pendidikan karakter merupakan bagian dari rencana nasional dan tantangan lokal yang bertujuan untuk mempersiapkan siswa di masa depan. Mempersiapkan masa depan perlu dimulai dari awal salah satunya adalah menanamkan kebiasaan baik di tingkat sekolah dasar. Kebiasaan baik yang perlu diajarkan guru pada siswa adalah dengan membiasakan siswa untuk melakukan hal-hal baik dalam konteks mengembangkan minat dan bakat siswa.
Penguatan pendidikan nilai pada konteks global relevan untuk mengatasi krisis moral yang terjadi di negara Indonesia saat ini. Diakui ataupun tidak, faktanya krisis moral telah terjadi pada generasi penerus bangsa (anak-anak). Melihat krisisnya permasalahan moralitas bangsa Indonesia saat ini, maka pendidikan nilai di sekolah menjadi penting untuk dikaji lebih jauh lagi.
Jika dilihat pendidikan di Indonesia pada kenyataannya lebih mengutamakan aspek kognitif (berpikir) dan psikomotorik (keterampilan), dibandingkan dengan afektif yang notabenenya bersentuhan langsung dengan “nilai” atau belajar bermakna (gestalt). Terlebih pendidikan dibagi menjadi bagian-bagian yang berdiri sendiri. Padahal, pemahaman tentang teori tidak diartikan bahwa ranah kognisi, psikomotorik, dan afeksi adalah sesuatu yang terpisah dalam diri individu (Firmansyah & Sauri, 2010: 29).
Hal tersebut merupakan dugaan yang logis dan rasional, karena pendidikan nilai atau karakter bertujuan mendidik anak-anak untuk menjadi lebih baik serta dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekan dalam kehidupan sehari-hari (Megawangi, 2016: 95). Sasaran-sasaran yang hendak dituju dalam pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri siswa (Sauri, 2015:11). Dengan begitu tujuan dari pendidikan nilai adalah membina siswa menjadi pribadi, anggota keluarga, warga masyarakat, dan warga negara yang baik, terdidik, demokratis, dan bertanggung jawab.
Nilai-nilai moral dalam implementasinya dalam pendidikan nilai dapat diintegrasikan ke seluruh mata pelajaran, demi mewujudkan hal tersebut tentunya diperlukan adanya pendidikan dan pelatihan serta pendampingan secara berkesinambungan kepada guru tentang bagaimana cara mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam rancangan dan proses pembelajaran (Firmansyah, dkk, 2010: 110). Dengan begitu bagi anak-anak yang masih duduk di bangku SD, implementasi pendidikan moral dapat dilakukan melalui hidden curriculum, dimana nilai-nilai moral terintegrasi dalam setiap proses pembelajaran melalui kebiasaan baik dari si pendidik atau keteladanan guru yang mengajarkan secara langsung nilai-nilai moral dengan bersikap jujur, adil, toleransi serta bertanggung jawab.
Di Dalam pendidikan nilai dikenal istilah internalisasi nilai. Internalisasi nilai dalam pendidikan merupakan salah satu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai dalam diri siswa atau peserta didik ((Firmansyah & Sauri, 2010:95). Proses internalisasi pada hakikatnya adalah upaya menghadirkan suatu nilai yang berasal dari dunia eksternal (universal, absolut, objektif) menjadi milik internal seseorang ataupun lembaga (Hakam & Nurdin, 2016: 5).
Proses internalisasi lazimnya lebih cepat terwujud melalui keterlibatan peran-peran orang tua dan guru atau model (role-models). Di sekolah, siswa harusnya mendapatkan guru yang dapat dihormati dan bisa dijadikan panutan, sehingga dia dapat menerima serangkaian norma dan nilai yang ditampilkan melalui keteladanan yang dicontohkan oleh guru. Inilah yang dinamakan sebagai identifikasi (identification), baik dalam psikologi maupun sosiologi. Dengan begitu apabila orang tua di rumah berperan sebagai figur budi pekerti luhur, maka peran guru di sekolah ialah untuk menjadi teladan.
Peran guru sebagai teladan akan sangat mempengaruhi proses pendidikan bahkan sampai kepada hasil pendidikan. Pandangan hidup dan tujuan hidup pendidik, kemampuan pendidik, bahkan pribadi pendidik dalam melakukan pendekatan kepada siswa dapat berdampak kepada hasil pendidikan siswa yang dibimbingnya. Sehingga dalam proses internalisasi nilai moral di sekolah, guru dituntut untuk tidak sekadar mengajarkan mata pelajaran, tapi guru harus menjadi seorang teladan yang mewariskan nilai-nilai dan norma positif bagi siswanya.
Mengingat bahwa ruang kelas adalah tempat di mana anak menghabiskan waktunya untuk belajar dan berinteraksi, maka tidak menutup kemungkinan bahwa ruang kelas merupakan tempat kedua setelah keluarga yang cocok untuk dijadikan sebuah sarana dalam menginternalisasi nilai moral kepada siswa.