banner 728x250

Bangsa Indonesia Sepatutnya Mendukung Etnik Uyghur yang Tertindas

banner 120x600

JAKARTA, pantauindonesianews.com – Bangsa Indonesia seharusnya menunjukkan simpati dan dukungan kepada etnik Uyghur yang masih dalam situasi yang sulit karena mengalami penindasan dari pemerintah setempat. Dukungan itu telah ditunjukkan dengan berbagai kegiatan mulai dari aksi protes, pernyataan dari beberapa anggota parlemen sampai dengan berbagai kegiatan akademik di kampus. Dukungan ini juga wajar mengingat bangsa Indonesia mayoritas Muslim sama dengan etnik Uyghur.

Demikian salah satu butir pemikiran dalam Indonesian Humanitarian Response to Uyghur yang diselenggarakan berkat kerjasama antara Program Studi Ilmu Politik, Program Studi Magister Ilmu Politik dan Center for Uyghur Studies yang berkedudukan di Washington Amerika Serikat. Seminar yang dihadiri hampir 100 mahasiswa, dosen dan undangan lainnya termasuk melalui aplikasi zoom diselenggarakan di Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta, hari Senin (3/4). Seminar dibuka oleh Wakil Dekan II FISIP UMJ Djoni Gunanto dan dihadiri pula Kaprodi Ilmu Politik Dr. Usni dan Kaprodu Magister Ilmu Politik Dr Lusi Andriyani.

Indonesia perlu berperan

Direktur Eksekutif Center for Uyghur Studies Abdulhakim Idris menyatakan, tindakan pemerintah setempat yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnik Uyghur sudah tercatat dalam berbagai laporan termasuk dari PBB. Ia memberikan contoh bagaimana etnik Uyghur yang menganut Islam mengalami kesulitan dalam melaksanakan ibadah termasuk untuk berpuasa. Bahkan contoh-contoh mengenai pelanggaran berat hak asasi manusia diperlihatkan melalui berbagi foto dalam seminar ini.

Demikian juga terdapat indikasi adanya upaya untuk melakukan penghilangan identitas etnik Muslim Uyghur dengan berbagai cara termasuk dalam pernikahan campur dengan etnik Han yang mayoritas. Oleh karena itu seyogyanya Indonesia sebagai negara yang mayoritas Muslim, jelas Abdulhakim, memberikan perhatian kepada nasib bangsa Uyghur. Perhatian itu ditunjukkan dengan dukungan pemerintah Indonesia dalam mencari penyelesaian masalah Uyghur di Turkestan Timur yang disebut sekarang wilayah Xinjiang.

Sementara itu Mohd Khairul Anwar, Wakil Ketua Angkatan Belia Islam Malaysia menegaskan dukungan publik terhadap Uyghur sudah lama berjalan di Malaysia. Bahkan Anwar menunjukkan bagaimana Malaysia memberikan suaka kepada sejumlah orang Uyghur yang terusir dari kediamnnya karena tidak dapat menghadapi kebijakan penguasa setempat. Dukungan itu diperlihatkan antara lain dengan berbagai kegiatan sosial dan bahkan penggalangan dana melalui kegiatan olahraga. Secara tidak langsung Anwar berhadap Indonesia memberikan perhatian lebih terhadap etnik Uyghur setidaknya karena aspek kemanusiaan.

Mantan Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan yang pernah menjadi diplomat di Beijing Mohammad Asruchin menjelaskan adanya pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnik Uyghur telah menjadi pandangan PBB. Bahkan Komisi HAM PBB mendesak agar memberikan akses untuk memeriksa kamp konsentrasi di wilayah Xinjiang. Namun China menolak adanya pelanggaran hak asasi manusia diantaranya dengan membangun kamp konsentrasi untuk melakukan apa yang disebut sebagai upaya menekan etnik Uyghur.

Jurnalis senior Aat Surya Safaat menjelaskan bahwa masalah Uyghur ini isu panas bagi Indonesia. Bahkan dari pengalamannya liputan internasional di Amerika Serikat sebagai wartawan Antara, isu ini dapat menjadi bola panas bagi Indonesia karena terkait dengan Papua. Namun demikian hendaknya mendorong organisasi Islam di Indoensia seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mengunjungi Provinsi Xinjiang dimana etnik Uyghur berada. Dengan kunjungan ini akan muncul saling pengertian diantara kedua negara.

Dr. Asep Setiawan dalam kesempatan presentasinya menjelaskan bahwa dukungan terhadap etnik Uyghur yang ditindas di wilayahnya sendiri mendapat simpati dan dukungan dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Asep menunjukkan beberapa anggota DPR memandang masalah Uyghur adalah soal kemanusiaan bukan soal politik. Oleh sebab itu anggota DPR itu mendesak pemerintah mencarikan solusi agar etnik Uyghur dapat hidup dalam kondisi yang tidak tertekan seperti dilaporkan dunia internasional.

Dukungan juga datang dari organisasi Islam seperti Muhammadiyah yang meminta pemerintah turut berpartisipasi dalam mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Uyghur. Dukungan terhadap etnik Uyghur bahkan ditunjukkan dengan berbagai aksi protes mulai tahun 2018 bahkan berjalan terus sampai menjelang terjadinya COVID-19 tahun 2020. Sedangkan dukungan dari kalangan akademisi dilakukan dengan berbagai seminar dan kajian yang menunjukkan adanya upaya internasional untuk turut mencegah terjadinya terus menerus pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnik Uyghur.

IdentitasUyghur

Uyghur adalah kelompok etnis Turki yang didominasi Muslim, dan bahasa serta budaya mereka berbeda dari mayoritas Han Cina. Sejak 1990-an, pemerintah China telah menerapkan kebijakan yang bertujuan menekan identitas 13 juta etnik Uyghur, termasuk pembatasan praktik keagamaan, pengawasan, dan penahanan massal. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan kerja paksa, sterilisasi paksa, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya di wilayah Uyghur telah menyebabkan peningkatan pengawasan dan kecaman internasional.

Laporan Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada akhir Agustus 2022 menyimpulkan bahwa warga Uyghur dan orang-orang dari kelompok Muslim lain di Xinjiang telah dirampas hak-hak dasarnya dari 2017 hingga 2019 dan kemungkinan terus melakukannya hingga saat ini.

Pemerintah China membantah melakukan kesalahan dan telah menggambarkan kebijakannya di Xinjiang sebagai hal yang diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial dan memerangi terorisme. Namun, banyak organisasi hak asasi manusia dan pemerintah di seluruh dunia telah mengkritik perlakuan China terhadap Uyghur, dan beberapa telah menyerukan sanksi dan tindakan lain sebagai tanggapan. Pemerintah Indonesia telah dikritik karena dianggap tidak bertindak dalam menangani masalah ini. Hingga Februari 2023, tampaknya tidak ada kontribusi signifikan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap penyelesaian masalah Uyghur. Sebaliknya, media dan pemerintah Indonesia telah dikritik karena kurangnya tindakan dan berdiam diri mengenai masalah ini.

Penulis : Dr. Asep Setiawan. FISIP UMJ.

(Anggota Dewan Pers 2022-2025)

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan