JAKARTA, Jangan Rusak Masa Depan Anak. Ini salah satu pesan penting bagi pelaku industri media di tanah air. Hal itu diingatkan kembali oleh Kamsul Hasan, Ahli Pers Dewan Pers, dalam diskusi di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Sekber Wartawan Indonesia (SWI), Jalan Indramayu 117 Menteng, Jakpus, Jumat (20/01/2023).
Menurutnya, dari berbagai kasus hukum yang menimpa anak, media cenderung mendiskreditkan anak, dengan secara gamblang menuliskan dan atau menyebutkan identitas sang anak baik sebagai korban dan atau pelaku mau pun sebagai saksi kepada publik.
Dalam diskusi yang dipandu Sekjen SWI Herry Budiman, Kamsul Hasan menjelaskan, ada Kode Etik Jurnalistik, Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) dan Undang-Undang yang menegaskan, bahwa pers harus merahasiakan identitas anak dalam pemberitaan.
“Seharusnya kode etik dan undang-undang tersebut, menjadi pedoman bagi kalangan pers dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik. Nyatanya, berbagai pedoman itu, seringkali dilanggar oleh insan pers.” tegasnya.
Kamsul Hasan mencontohkan pemberitaan tentang penculikan bocah perempuan berusia 6 tahun di Jalan Gunung Sahari, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Polres Metro Jakarta Pusat menerima laporan penculikan tersebut, pada Rabu, 7 Desember 2022. Polisi kemudian berhasil menemukan sang bocah dalam keadaan sehat, pada Senin (2/1/2023) malam.
Berbagai pemberitaan media selama 26 hari Polisi menelusuri jejak penculik, identitas korban, bahkan identitas ibu korban, diumbar ke publik secara gamblang. Padahal, menurut kode etik dan undang-undang, identitas mereka harusnya dirahasiakan oleh pers, dengan menuliskan dan atau menyebutkan identitas secara akronim atau inisial saja.
Kenapa pers harus merahasiakan identitas anak yang menjadi pelaku, korban, dan saksi hukum?
Kamsul menjelaskan salah satunya, demi menjaga nama baik sang anak. Karena, pengungkapan identitas anak ke publik tersebut, sangat berpengaruh bagi tumbuh kembang anak di masa depan, berdasarkan UU Perlindungan Anak dalam Pasal 64 huruf i, yaitu penghindaran dari publikasi atas identitasnya.
Acuan lainnya, tambah Kamsul, adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dalam Pasal 19, bahwa identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.
“Bahkan, ditegaskan secara hukum, setiap orang memang dilarang untuk membocorkan rahasia identitas anak korban, termasuk orang tua anak korban, di media cetak dan elektronik.” jelasnya
Jika dilanggar, lanjut Kamsul, maka yang bersangkutan dapat dipidana. Disebutkan, setiap orang yang melanggar kewajiban tersebut, diancam pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp 500 juta rupiah. Sejauh ini, memang belum terdengar kabar, ada pihak anak yang menuntut media, dalam konteks pengumbaran identitas mereka ke publik.
Meski demikian, itu bukan berarti insan pers bisa menabrak terus-terusan aturan mengenai perlindungan identitas anak yang dimaksud.
“Justru, seharusnya, pers menjadi pelopor perlindungan identitas anak dalam pemberitaan. Apalagi di era digital kini, jejak digital anak yang berhadapan dengan hukum, bisa tersebar sangat luas ke publik.” kata Kamsul.
Bukan hanya itu. Kamsul menyebut jejak digital tersebut juga bisa tersimpan di ranah digital, dalam kurun waktu yang sangat lama. Dan, bisa dengan leluasa diakses publik kapan saja, di saluran internet. Artinya, pengumbaran identitas anak yang berhadapan dengan hukum melalui media, itu berarti insan pers telah turut merusak masa depan anak-anak bangsa.
“Anak-anak perempuan yang menjadi korban pencabulan, misalnya. Betapa depresinya mereka setelah dewasa kelak, karena jejak digital identitas mereka itu, bisa menghambat perjalanan karir yang tengah mereka upayakan dengan susah-payah.” jelasnya.
“Sekali lagi, wahai insan pers, patuhilah kode etik serta undang-undang perlindungan identitas anak dalam pemberitaan di media. Jangan rusak masa depan mereka, karena anak-anak tersebut adalah bagian penting dari kemajuan bangsa”. tandas Kamsul. (HUM)