banner 728x250

SWI Pusat Dukung Dewan Pers Dan Ahli Pers, Tolak Pasal Yang Dinilai Merampas Kemerdekaan Pers Dalam Draf Revisi RUU Penyiaran.

banner 120x600
banner 468x60

JAKARTA,- pantauindonesianews.com
Sekber Wartawan Indonesia (SWI) Pusat, menyatakan menolak draf RUU Penyiaran yang dihasilkan Badan Legislasi DPR RI pada 27 Maret 2024. Pasalnya, RUU ini dinilai  membungkam kemerdekaan pers.

Dalam rilisnya, SWI menyebut pada RUU Penyiaran di Pasal 50 B ayat 2 huruf c melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Hal itu bertentangan atas Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor, bredel dan pelarangan penyiaran.

“Dalam Undang – Undang Pers, jika pelarangan itu dilakukan akan berhadapan dengan tuntutan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.” ujar Sekjen SWI Herry Budiman dalam siaran pers, Jumat (17/5/2024).

Herry menambahkan, pada RUU Pasal 42 ayat 2 yang memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengeketa jurnalistik penyiaran, berpotensi mengambil alih kewenangan dan fungsi Dewan Pers.

“Ini bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 15 ayat 2 tentang fungsi – fungsi Dewan Pers diantaranya yaitu menyelesaikan sengeketa pers. Jadi ada tumpang tindih,” tambahnya.

SWI mendukung Dewan Pers dan insan pers Indonesia menolak Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran untuk tidak dilanjutkan digodok oleh DPR RI.

“Sikap SWI mendukung Dewan Pers dan organisasi pers menolak dilanjutkan pembahasan RUU Penyiaran karena tedensi membungkam kemerdekaan pers Indonesia” ungkap Herry.

Dilain tempat, Ahli Pers Dewan Pers Kamsul Hasan juga menegaskan,
“Apapun saluran medianya sepanjang itu karya jurnalistik perusahaan pers berbadan hukum Indonesia harus diselesaikan UU Pers !,” tegasnya.

Komisi I DPR RI gunakan inisiatif perubahan UU Penyiaran dengan alasan sudah uzur berusia 22 tahun dan tidak sesuai kemajuan teknologi.

UU Penyiaran melalui KPI selama ini hanya mengawasi media yang gunakan frekuensi publik terbatas atau disebut penyiaran terestrial.

RUU Penyiaran ingin memperluas peran KPI melalui berbagai jenis saluran bukan saja yang gunakan frekuensi publik tetapi juga jaringan internet dan lainnya. Dengan kata lain semua bentuk penyiaran diawasi dan disanksi KPI.

Persoalan timbul karena selama ini isi siaran dibagi dua non jurnalistik dan jurnalistik kemudian dalam draft RUU Penyiaran hanya dikenal satu macam konten saja, semuanya sama harus diawasi KPI.

Perusahaan pers yang memproduksi konten siaran jurnalistik keberatan karena harus tunduk patuh pada konsep yang dianggap bertentangan dengan kemerdekaan pers.

Padahal UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers masih berlaku. UU Pers mengatur apa itu pers, kemerdekaan pers, hak dan kewajiban pers Indonesia sampai tata cara penyelesaian sengketa.

UU Pers menunjuk Dewan Pers sebagai tempat penyelesaian sengketa konten jurnalistik bukan KPI. Bila tidak puas masih ada pidana pers sampai gugatan perdata ke pengadilan.

“Pers tidak menolak revisi UU Penyiaran, yang ditolak adalah merampas kemerdekaan pers dengan cara menghilangkan produk jurnalistik dari isi siaran !” Pungkas Kamsul Hasan Ahli Pers Dewan Pers.
(Red-pin001)

Tinggalkan Balasan